Sabtu, 29 Maret 2008

HIPERBILIRUBIN

By : Sutrisno, S.Kep, Ns

A. Pengertian
Hiperbilirubinemia merupakan suatu keadaan dimana kadar bilirubin serum total yang lebih dari 10 mg% pada minggu pertama yang ditandai dengan ikterus pada kulit, sclera dan organ lain. Keadaan ini mempunyai potensi meningkatkan kern ikterus yaitu keadaan kerusakan pada otak akibat perlengketan kadar bilirubin pada otak.
(Ni Luh Gede, 1995)
Hiperbilirubin merupakan gejala fisiologis (terdapat pada 25 – 50% neonatus cukup bulan dan lebih tinggi pada neonatus kurang bulan) (IKA II, 2002).

Hiperbilirubin adalah meningginya kadar bilirubin pada jaringan ekstravaskuler sehingga kulit, konjungtiva, mukosa dan alat tubuh lainnya berwarna kuning.
(Ngastiyah, 1997)
Hiperbilirubin adalah meningkatnya kadar bilirubin dalam darah yang kadar nilainya lebih dari normal (Suriadi, 2001).
Nilai normal : bilirubin indirek 0,3 – 1,1 mg/dl, bilirubin direk 0,1 – 0,4 mg/dl.

B. Macam – Macam Ikterus
Ikterus Fisiologis
a. Timbul pada hari ke dua dan ketiga.
b. Kadar bilirubin indirek tidak melebihi 10 mg% pada neonatus cukup bulan dan 12,5 mg% untuk neonatus lebih bulan.
c. Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg% perhari.
d. Ikterus menghilang pada 10 hari pertama.
e. Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologik.
Ikterus Patologik
a. Ikterus terjadi dalam 24 jam pertama.
b. Kadar bilirubin melebihi 10 mg% pada neonatus cukup bulan atau melebihi 12,5 mg% pada neonatus kurang bulan.
c. Peningkatan bilirubin lebih dari 5 mg% perhari.
d. Ikterus menetap sesudah 2 minggu pertama.
e. Kadar bilirubin direk melebihi 1 mg%.
f. Mempunyai hubungan dengan proses hemolitik.
(Ni Luh Gede Y, 1995)

C. Penyebab
Penyebab ikterus pada neonatus dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain :
Produksi bilirubin berlebihan dapat terjadi karena kelainan struktur dan enzim sel darah merah, keracunan obat (hemolisis kimia: salisilat, kortikosteroid, klorampinekol), chepalhematoma.
Gangguan dalam proses ambilan dan konjugasi hepar: obstruksi empedu, infeksi, masalah metabolik, Joundice ASI, hypohyroidisme.
Gangguan transportasi dalam metabolisme bilirubin.
Gangguan dalam ekskresi bilirubin.
Komplikasi : asfiksia, hipoermi, hipoglikemi, menurunnya ikatan albumin; lahir prematur, asidosis.
(Ni Luh Gede Y, 1995)( Suriadi, 2001)

Menurut IKA, 2002 penyebab ikterus terbagi atas :
Ikterus pra hepatik
Terjadi akibat produksi bilirubin yang mengikat yang terjadi pada hemolisis sel darah merah.
Ikterus pasca hepatik (obstruktif)
Adanya bendungan dalam saluran empedu (kolistasis) yang mengakibatkan peninggian konjugasi bilirubin yang larut dalam air yang terbagi menjadi :
a. Intrahepatik : bila penyumbatan terjadi antara hati dengan ductus koleductus.
b. Ekstrahepatik : bila penyumbatan terjadi pada ductus koleductus.
Ikterus hepatoseluler (hepatik)
Kerusakan sel hati yang menyebabkan konjugasi blirubin terganggu.

Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama dengan penyebab :
· Inkomtabilitas darah Rh, ABO atau golongan lain
· Infeksi intra uterin (oleh virus, toksoplasma, lues dan kadang bakteri)
· Kadang oleh defisiensi G-6-PO
Ikterus yang timbul 24 – 72 jam setelah lahir dengan penyebab:
· Biasanya ikteruk fisiologis
· Masih ada kemungkinan inkompatibitas darah ABO atau Rh atau golongan lain. Hal ini diduga kalau peningkatan kadar bilirubin cepat, misalnya melebihi 5 mg%/24 jam
· Polisitemia
· Hemolisis perdarahan tertutup (perdarahan sub oiponeurosis, perdarahan hepar sub kapsuler dan lain-lain)
· Dehidrasis asidosis
· Defisiensi enzim eritrosis lainnya

Ikterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai minggu pertama dengan penyebab
· Biasanya karena infeksi (sepsis)
· Dehidrasi asidosis
· Defisiensi enzim G-6-PD
· Pengaruh obat
· Sindrom gilber

Ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya dengan penyebab :
· biasanya karena obstruksi
· hipotiroidime
· hipo breast milk jaundice
· infeksi
· neonatal hepatitis
· galaktosemia
(IKA II, 2002)

D. Tanda dan Gejala
1. Pada permulaan tidak jelas, yang tampak mata berputar-putar
2. Letargik (lemas)
3. Kejang
4. Tidak mau menghisap
5. Dapat tuli, gangguan bicara dan retardasi mental
6. Bila bayi hidup pada umur lebih lanjut dapat disertai spasme otot, epistotonus, kejang, stenosis yang disertai ketegangan otot
(Ngastiyah, 1997)
7. Perut membuncit
8. Pembesaran pada hati
9. Feses berwarna seperti dempul
(Ni Luh Gede Y, 1995)
10. Tampak ikterus; sklera, kuku, kulit dan membran mukosa. Joundice pada 24 jam pertama yang disebabkan oleh penyakit hemolitik waktu lahir, sepsis, atau ibu dengan diabetik/infeksi.
11. Muntah, anoreksia, fatigue, warna urin gelap, warna tinja gelap.
(Suriadi, 2001)

E. Komplikasi
1. Terjadi kernikterus, yaitu kerusakan pada otak akibat perlengketan bilirubin indirek pada otak terutama pada korpus striatum, thalamus, nucleus subtalamus hipokampus, nucleus merah didasar ventrikel IV.
2. Kernikterus; kerusakan neurologis, cerebral palsy, RM, hyperaktif, bicara lambat, tidak ada koordinasi otot, dan tangisan yang melengking.
(Ngastiyah, 1997)(Suriadi,2001)

F. Penatalaksanaan dan Tindakan
a. Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama
Pemeriksaan yang dilakukan :
· Kadar bilirubin serum berkala.
· Darah tepi lengkap.
· Golongan darah ibu dan bayi diperiksa.
· Pemeriksaan penyaring defisiensi enzim G-6-PD biakan darah atau biopsi hepar bila perlu.
b. Ikterus yang timbul 24 – 72 jam setelah lahir:
Pemeriksaan yang perlu diperhatikan : Bila keadaan bayi baik dan peningkatan tidak cepat dapat dilakukan pemeriksaan darah tepi, periksa kadar bilirubin berkala, pemeriksaan penyaring enzim G-6-PD dan pemeriksaan lainnya.
c. Ikterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai minggu pertama
Ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya
Pemeriksaan yang dilakukan :
· pemeriksaan bilirubin direk dan indirek berkala
· pemeriksaan darah tepi
· pemeriksaan penyaring G-6-PD
· biakan darah, biopsy hepar bila ada indikasi

Penatalaksanaan secara umum
Pengawasan antenatal yang baik.
Menghindari obat yang meningkatakan ikterus pada masa kematian dan kelahiran, misal : sulfa furokolin.
Pencegahan dan pengobatan hipoksin pada neonatus dan janin.
Penggunaan fenobarbital pada ibu 1 – 2 hari sebelum partus.
Pemberian makanan sejak dini (pemberian ASI).
Pencegahan infeksi.
Melakukan dekompensasi dengan foto terapi.
Tranfusi tukar darah. (Abdul bari S, 2000)(Ni Luh Gede Y, 1995)

G. Pengkajian Data Dasar
1. Aktivitas : Letargi, malas
2. Sirkulasi : Mungkin pucat, menandakan anemia
3. Eliminasi :
· Pasase mekonium mungkin lambat
· Bising usus hipoaktif
· Feses munkin lunak/coklat kehijauan selama pengeluaran bilirubin
· Urin gelap, pekat:hitam kecoklatan
4. Makanan/Cairan:
· Riwayat makan buruk (ASI), lebih mungkin disusui dari pada menyusu botol
· Palpasi abdoment dapat menunjukkan pembesaran limpa
5. Neurosensori:
· Sefalohematoma besar mungkin terlihat pada satu atau kedua tulang parietal yag berhubungan dengan trauma lahir
· Edema umum, hepatosplenomegali mungkin ada dengan inkompatibilitas Rh berat.
· Kegilangan reflek moro.
· Opitotonus dengan kekakuan lengkukng punggung, fontanel meninjol, menangis lirih, aktifitas kejang (tahap krisis).
6. Pernafasan:
· Riwayat asfiksia.
· Krekels, mukus bercak merah muda (edema pleural, hemoragi pulmonal).
7. Keamanan
· Riwayat sepsis neonatus.
· Dapat mengalami ekimosis berlebihan, petekie, perdarahan intra kranial.
· Dapat tampak ikterik pada wajah dan berlanjut pada bagian distal tubuh. : kulit hitam kecoklatan sebagai efek foto terapi.

H. Pemeriksaan Diagnostik
1. Test Coom pada tali pusat bayi baru lahir : hasil + tes ini, indirek menandakan adanya anti body Rh-positif, anti –A, atau anti_B dalam darah ibu. Direk menandakan adanya sensitisasi (Rh-positif, anti-A, anti-B) SDM dari neonatus
2. Golongan darah bayi dan Ibu : mengidentifikasi inkompatibilitas ABO.
3. Biliribin total : kadar direk bermakna jika melebihi 1,0 – 1,5 mg/dl, yang mungkin dihubungkan dengan sepsi .kadar indirek tidak boleh melebihi peningkatan 5 mg/dl dalam 24 jam atau tidak boleh melebihi 20 mg/dl pada bayi cukup bulan atau 15 mg/dl pada bayi preterm. protein serum total : kadar kurang dari 3,0 g/dl menandakan penurunan kapasitas ikatan terutama bayi preterm.
4. Hitung Darah Lengkap : Hb mungkin rendah (kurang dari 14 g/dl) karena hemolisis. Ht mungkin meningkat (lebih besar 65%) pada polisitemia, penurunan (kurang dari 45%) dengan hemolisis dan anemia berlebihan.
5. Glukosa: glukosa darah lengkap kurang dari 30 mg/dl atau tes glukosa serum kurang dari 40 mg/dl bila BBL hipoglikemi dan mulai menggunakan simpanan lemak dan melepaskan asam lemak.
6. Daya ikat karbon dioksida : penurunan kadar menunjukkan hemolisis.
7. Smear darah Perifer : dapat menunjukkan SDM abnormal, eritoblastosis pada penyakit Rh atau sferositis pada inkompatibilitas ABO.
I. Penatalaksanaan Teraupeutik
1. Fototerapi; dilakukan apabila telah ditegakkan hiperbilirubin patologis yang berfungsi untuk menurunkan bilirubin dalam kulit melalui tinja dan urine dengan oksidasi foto pada bilirubin dari biliverdin. Cahaya menyebabkan reaksi foto kimia dalam kulit yang mengubah bilirubin tak terkonjugasi kedalam fotobilirubin, yang dieksresikan dalam hati kemudian ke empedu. Produk akhir adalah reversibel dan dieksresikan ke dalam empedu tanpa perlu konjugasi.
2. Fenobarbital : dapat mengeksresi bilirubin dalam hati dan memperbesar konjugasi. Meningkatkan sintesis hepatik glukoronil tranferase yang meningkatkan bilirubin konjugasi dan clearance hepatik pada pigmen empedu, sintesis protein dimana dapat meningkatkan albumin untuk mengikat bilirubin.
3. Antibiotik; apabila terkait dengan infeksi.
4. Tranfusi tukar; apabila sudah tidak ditangani dengan fototerapi.
(IKA II, 2002)(Suriadi,2000)

ASFIKSIA


By : Sutrisno, S.Kep, Ns

A. Pengertian
Menurut Hanifa Wiknjosastro (2002) asfiksia neonatorum didefinisikan sebagai keadaan dimana bayi tidak dapat segera bernafas secara spontan dan teratur setelah lahir. Asfiksia Neonatus adalah suatu keadaan dimana saat bayi lahir mengalami gangguan pertukaran gas dan transport O2 dan kesulitan mengeluarkan CO2 (A.H Markum, 2002).

B. Etiologi
Etiologi secara umum dikarenakan adanya gangguan pertukaran gas atau pengangkutan O2 dari ibu ke janin, pada masa kehamilan, persalinan atau segera setelah lahir.
1. Faktor ibu
§ Hipoksi ibu, oksigenasi darah ibu yang tidak mencukupi akibat hipoventilasi selama anestesi, penyakit jantung sianosis, gagal pernafasan, keracunan karbon monoksida, tekanan darah ibu yang rendah.
§ Penyakit pembuluh darah yang menganggu aliran darah uterus, kompresi vena kava dan aorta saat hamil, gangguan kontraksi uterus, hipotensi mendadak akibat perdarahan, hipertensi pada penyakit eklampsia.
§ Usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun
§ Gravida empat atau lebih
§ Sosial ekonomi rendah
2. Faktor plasenta
§ Plasenta tipis
§ Plasenta kecil
§ Plasenta tak menempel
§ Solusio plasenta
§ Perdarahan plasenta

3. Faktor janin / neonatus
§ Kompresi umbilikus
§ Tali pusat menumbung, lilitan tali pusat
§ Kompresi tali pusat antara janin dan jalan lahir
§ Prematur
§ Gemeli
§ Kelainan congenital
§ Pemakaian obat anestesi
§ Trauma yang terjadi akibat persalinan
4. Faktor persalinan
§ Partus lama
§ Partus tindakan

C. Patofisiologi
Bila terdapat gangguan pertukaran gas atau pengangkutan oksigen selama kehamilan / persalinan, akan terjadi asfiksia. Keadaan ini akan mempengaruhi fungsi sel tubuh dan bila tidak teratasi akan menyebabkan kematian. Kerusakan dan gangguan ini dapat reversible atau tidak tergantung dari berat dan lamanya asfiksia. Asfiksia ringan yang terjadi dimulai dengan suatu periode apnoe, disertai penurunan frekuensi jantung. Selanjutnya bayi akan menunjukkan usaha nafas, yang kemudian diikuti pernafasan teratur. Pada asfiksia sedang dan berat usaha nafas tidak tampak sehingga bayi berada dalam periode apnoe yang kedua., dan ditemukan pula bradikardia dan penurunan tekanan darah.
Disamping perubahan klinis juga terjadi gangguan metabolisme dan keseimbangan asam dan basa pada neonatus. Pada tingkat awal menimbulkan asidosis respiratorik, bila gangguan berlanjut terjadi metabolisme anaerob yang berupa glikolisis glikogen tubuh, sehingga glikogen tubuh pada hati dan jantung berkurang. Hilangnya glikogen yang terjadi pada kardiovaskuler menyebabkan gangguan fungsi jantung. Pada paru terjadi pengisian udara alveoli yang tidak adekuat sehingga menyebabkan resistensi pembuluh darah paru. Sedangkan di otak terjadi kerusakan sel otak yang dapat menimbulkan kematian atau gejala sisa pada kehidupan bayi selanjutnya.


D. PATHWAYS
Unknown

E . Manifestasi klinik
1. Pernafasan cuping hidung
2. Pernafasan cepat
3. Tidak bernafas
4. Nadi cepat
5. Cyanosis
6. Nilai APGAR kurang dari 6

Untuk menilai tingkat asfiksia: asfiksia berat, sedang atau ringan bahkan normal dapat dipakai penilaian dengan APGAR score.
Klasifikasi klinik nilai APGAR:

1. Asfiksia berat ( nilai APGAR 0-3)
Memerlukan resusitasi segera secara aktif, dan pemberian oksigen terkendali. Karena selalu disertai asidosis, maka perlu diberikan natrikus bikarbonat 7,5% dengan dosis 2,4 ml per kg berat badan, dan cairan glucose 40%1-2 ml/kg berat badan, diberikan via vena umbilikalis.



2. Asfiksia sedang (nilai APGAR 4-6).
Memerlukan resusitasi dan pemberian oksigen sampai bayi dapat bernafas kembali.

3. Bayi normal atau asfiksia ringan ( nilai APGAR 7-9).

4. Bayi normal dengan nilai APGAR 10
Asfiksia berat dengan henti jantung, dengan keadaan bunyi jantung menghilang setelah lahir, pemeriksaan fisik yang lain sama dengan asfiksia berat.

F. Pemeriksaan Diagnostik
1. Analisa gas darah ( PH kurang dari 7,20 )
2. Penilaian APGAR Score meliputi (Warna kulit, frekuensi jantung, usaha nafas, tonus otot dan reflek)
3. Pemeriksaan EEG dan CT-Scan jika sudah timbul komplikasi
4. Pengkajian spesifik

G. Penatalaksanaan
Tujuan utama mengatasi asfiksia adalah untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan membatasi gejala sisa (sekuele) yang mungkin timbul di kemudian hari.Tindakan yang dikerjakan pada bayi lazim disebut resusitasi bayi baru lahir.
Sebelum resusitasi dikerjakan, perlu diperhatikan bahwa:
1. Faktor waktu sangat penting. Makin lama bayi menderita asfiksia, pertumbuhan homeostasis yang timbul makin berat. Resusitasi akan semakin sulit dan kemungkinan timbulnya sekuele akan meningkat
2. Kerusakan yang timbul pada bayi akibat anoksia/ hipoksia antenatal tidak dapat diperbaiki, tetapi kerusakan yang akan terjadi karena anoksia/hipoksia paska natal harus dicegah dan diatasi.
3. Riwayat kehamilan dan persalinan akan memberikan keterangan yang jelas tentang faktor penyebab terjadinya depresi pernafasan pada bayi baru lahir
4. Penilaian bayi baru lahir perlu dikenal baik, agar resusitasi yang dilakukan dapat dipilih dan ditentukan secara cepat dan tepat.

Prinsip dasar resusitasi yang perlu diingat adalah:
1. Membersihkan lingkungan yang baik pada bayi dan mengusahakan saluran pernafasan tetap bebas serta merangsang timbulnya pernafasan, yaitu agar oksigenasi dan pengeluaran CO2 berjalan lancar.
2. Memberikan bantuan pernafasan secara aktif pada bayi yang menunjukkan usaha pernafasan lemah.
3. Melakukan koreksi terhadap asidosis yang terjadi
4. Menjaga agar sirkulasi darah tetap baik.

Tindakan Umum:
1. Pengawasan suhu tubuh
Pertahankan suhu tubuh agar bayi tidak kedinginan, karena hal ini akan memperburuk keadaan asfiksia.Bayi baru lahir secara relative banyak kehilangan panas yang diikuti oleh penurunan suhu tubuh. Penurunan suhu tubuh akan mempertinggi metabolisme sel sehingga kebutuhabn oksigen meningkat. Perlu diperhatikan agar bayi mendapat lingkungan yang hangat segera setelah lahir. Jangan biarkan bayi kedinginan (membungkus bayi dengan kain kering dan hangat), Badan bayi harus dalam keadaan kering, jangan memandikan bayi dengan air dingin, gunakan minyak atau baby oil untuk membersihkan tubuh bayi. Kepala ditutup dengan kain atau topi kepala yang terbuat dari plastik

2. Pembersihan jalan nafas
Saluran nafas atas dibersihkan dari lendir dan cairan amnion dengan pengisap lendir, tindakan ini dilakukan dengan hati- hati tidak perlu tergesa- gesa atau kasar. Penghisapan yang dilakukan dengan ceroboh akan timbul penyulit seperti: spasme laring, kolap paru, kerusakan sel mukosa jalan nafas. Pada asfiksia berat dilakukan resusitasi kardiopulmonal.

3. Rangsangan untuk menimbulkan pernafasan
Bayi yang tidak memperlihatkan usaha bernafas selama 20 detik setelah lahir dianggap telah menderita depresi pernafasan. Dalam hal ini rangsangan terhadap bayi harus segera dilakukan. Pengaliran O2 yang cepat kedalam mukosa hidung dapat pula merangsang reflek pernafasan yang sensitive dalam mukosa hidung dan faring. Bila cara ini tidak berhasil dapat dilakukan dengan memberikan rangsangan nyeri dengan memukul kedua telapak kaki bayi.

4. Therapi cairan pada bayi baru lahir dengan asfiksi
a.Tujuan Pemberian Cairan untuk Bayi Baru Lahir dengan asfiksia
1. Mengembalikan dan mempertahankan keseimbangan cairan
2. Memberikan obat- obatan
3. Memberikan nutrisi parenteral
b. Keuntungan dan kerugian therapy Cairan
Keuntungan :
1. Efek therapy segera tercapai karena penghantaran obat ketempat target berlangsung cepat
2. Absorbsi total, memungkinkan dosis obat lebih tepat dan therapy lebih dapat diandalkan.
3. Kecepatan pemberian dapat dikontrol sehingga efek therapy dapat dipertahankan maupun dimodifikasi.
4. Ras sakit dan iritasi obat- obat tertentu jika diberikan intramuscular dan subkutan dapat dihindari.
5. Sesuai untuk obat yang tidak dapat diabsorpsi dengan rute lain karena molekul yang besar, iritasi atau ketidakstabilan dalam traktus gastrointestinal.
Kerugian :
1. Resiko toksisitas/anapilaktik dan sensitivitas tinggi
2. Komplikasi tambahan dapat timbul :
§ Kontaminasi mikroba melalui sirkulasi
§ Iritasi vaskuler ( spt phlebitis )
§ Inkompabilitas obat dan interaksi dari berbagai obat tambahan.

c.Peran Perawat terhadap Therapi Cairan pada bayi baru lahir dengan asfiksia
1. Memastikan tidak ada kesalahan maupun kontaminasi cairan infuse maupun kemasannya.
2. Memastikan cairan infuse diberikan secara benar (pasien, jenis cairan, dosis, cara pemberian dan waktu pemberian)
3. Memeriksa kepatenan tempat insersi
4. Monitor daerah insersi terhadap kelainan
5. Mengatur kecepatan tetesan sesuai dengan program
6. Monitor kondisi dan reaksi pasien



DAFTAR PUSTAKA


1. A.H Markum, (2002). Ilmu Kesehatan Anak, Jakarta: FKUI.

2. Arif Ridwan & Iman Fathurrohman W. (1997). Referensi Ilmu Kesehatan Anak. Edisi ke-2. Bandung.

3. Berhman, Kliegman & Arvin, (1996), Ilmu Kesehatan Anak Nelson, Alih Bahasa Samik Wahab. Jilid I, Jakarta: EGC.

4. http: // www.pediatrik.com/kanal.Php?pg=karyailmiah&id=03.

5. http : //www.Suaramerdeka.Com/harian/0308/11/ragam5.htm.

6. Mochtar, Rustam, (1998), Sinopsis Obstetri: Obstetri Patologi, Edisi 2, Jakarta: EGC.

7. Persis Mary Halminton, (1999), Dasar- dasar Keperawatan Maternitas Edisi 2, Jakarta: EGC

8. Staf Pengajar IKA FKUI, (1995), Ilmu Kesehatan Anak Jilid 3, Jakarta: IKA FKUI.

9. Purnawan, J dkk, (1998) Kapita Selekta Kedokteran, Edisi2, Jakarta: Media Aeusculapius FKUI.

10. PT Otsuka Indonesia. (2003). Pemberian Cairan Infus. Edisi revisi VIII.

11. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo, (2002), Ilmu Kebidanan, Jakarta: JNPKKR-POGI

12. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo, (2002), Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, Jakarta: JNPKKR- POGI

13. Arif Ridwan & Iman Fathurrohman W. (1998). Referensi Ilmu Kesehatan Anak. Edisi ke-2. Bandung.

Durasi <24 pg="karyailmiah&id=">

Jumat, 08 Februari 2008

MENARIK DIRI

BY: SUTRISNO. S.KEP, NS

A.PENGERTIAN
Menarik diri merupakan percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang lain, menghindari hubungan dengan orang lain (Rawlins,1993). Menurut Townsend, M.C (1998) Menarik diri merupakan suatu keadaan dimana seseorang menemukan kesulitan dalam membina hubungan secara terbuka dengan orang lain. Sedangkan menurut Dekes RI (1989) Penarikan diri atau withdrawal merupakan suatu tindakan melepaskan diri baik perhatian ataupun minatnya terhadap lingkungan sosial secara langsung yang dapat bersifat sementara atau menetap. Jadi menarik diri adalah keadaan dimana seseorang menemukan kesulitan dalam membina hubungan dan menghindari interaksi dengan orang lain secara langsung yang dapat bersifat sementara atau menetap.

B. RENTANG RESPON

1.Menyendiri (solitude) merupakan respon yang dibutuhkan seseorang untuk merenungkan apa yang telah dilakukan di lingkungan sosialnya dan suatu cara mengevaluasi diri untuk menentukan langkah selanjutnya.
2.Otonomi merupakan kemampuan individu untuk menentukan dan menyampaikan ide-ide pikiran, perasaan dalam hubungan sosial.
3.Bekerjasama (mutualisme) adalah suatu kondisi dalam hubungan interpersonal dimana individu tersebut mampu untuk saling memberi dan menerima.
4.Saling tergantung (interdependen) adalah suatu kondisi saling tergantung antara individu dengan orang lain dalam membina hubungan interpersonal.
5.Menarik diri merupakan suatu keadaan dimana seseoramg menemukan kesulitan dalam membina hubungan secara terbuka dengan orang lain.
6.Tergantung (dependen) terjadi bila seseorang gagal mengambangkan rasa percaya diri atau kemampuannya untuk berfungsi secara sukses.
7.Manipulasi merupakan gangguan hubungan sosial yang terdapat pada individu yang menganggap orang lain sebagai objek. Individu tersebut tidak dapat membina hubungan sosial secara mendalam.
8.Curiga terjadi bila seseorang gagal mengembangkan rasa percaya dengan orang lain. Kecurigaan dan ketidakpercayaan diperlihatkan dengan tanda-tanda cembru, iri hati, dan berhati-hati. Perasaan induvidu ditandai dengan humor yang kurang, dan individu merasa bangga dengan sikapnya yang dingin dan tanpa emosi.

C.PENYEBAB
Penyebab dari menarik diri adalah harga diri rendah yaitu perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilang kepercayaan diri, merasa gagal mencapai keinginan, yang ditandai dengan adanya perasaan malu terhadap diri sendiri, rasa bersalah terhadap diri sendiri, gangguan hubungan sosial, merendahkan martabat, percaya diri kurang, dan juga dapat mencederai diri (Carpenito,L.J,1998:352)
Faktor predisposisi
Beberapa faktor predisosisi (pendukung) terjadi gangguan hubungan sosial yaitu :
1.Faktor perkembangan
Kemampuan membina hubungan yang sehat tergantung dari pengalaman selama proses tumbuh kembang. Setiap tahap tumbuh kembang memiliki tugas yang harus dilalui individu dengan sukses, karena apabila tugas perkembangan ini tidak dapat dipenuhi akan menghambat masa perkembangan selanjutnya. Kurangnya stimulasi, kasih sayang, perhatian, dan kehangatan dari orang tua/pengasuh akan memberikan rasa tidak aman yang dapat menghambat terbentuknya rasa tidak percaya.


2.Faktor biologis
Genetik merupakan salah satu faktor pendukung gangguan jiwa. Kelainan struktur otak, seperti atropi, pembesaran ventrikel, penurunan berat dan volume otak serta perubahan limbik diduga dapat menyebabkan skizofrenia.
3.Faktor sosial budaya
Faktor sosial budaya dapat menjadi faktor pendukung terjadinya gangguan dalam membina hubungan dengan orang lain, misalnya anggota keluarga yang tidak produktif diasingkan dari orang lain (lingkungan sosialnya).

Stressor Presipitasi
1.Stressor sosial budaya
Stressor sosial budaya dapat menyebabkan terjadinya gangguan dalam membina hubungan dengan orang lain, misalnya anggota keluarga yang labil, yang dirawat di rumah sakit.
2.Stressor psikologis
Tingkat kecemasan yang berat akan menyebabkan menurunnya kemampuan individu untuk berhubungan dengan orang lain. Intensitas kecemasan yang ekstrim dan memanjang disertai terbatasnya kemampuan individu untuk mengatasi masalah diyakini akan menimbulkan berbagai masalah gangguan berhubungan (menarik diri).

D.PROSES TERJADINYA MASALAH
Pada mulanya klien merasa dirinya tidak berharga lagi sehingga merasa tidak aman dalam berhubungan dengan orang lain. Biasanya klien berasal dari lingkungan yang penuh permasalahan, ketegangan, kecemasan dimana tidak mungkin mengembangkan kehangatan emosional dalam hubungan yang positif dengan orang lain yang menimbulkan rasa aman.
Dunia merupakan alam yang tidak menyenangkan, sebagai usaha untuk melindungi diri, klien menjadi pasif dan kepribadiannya semakin kaku (rigid). Klien semakin tidak dapat melibatkan diri dalam situasi yang baru. Ia berusaha mendapatkan rasa aman tetapi hidup itu sendiri begitu menyakitkan dan menyulitkan sehingga rasa aman itu tidak tercapai. Hal ini menyebabkan ia mengembangkan rasionalisasi dan mengaburkan realitas daripada mencari penyebab kesulitan serta menyesuaikan diri dengan kenyataan.
Konflik antara kesuksesan dan perjuangan untuk meraih kesuksesan itu sendiri terus berjalan dan penarikan diri dari realitas diikuti penarikan diri dari keterlibatan secara emosional dengan lingkungannya yang menimbulkan kesulitan. Semakin klien menjauhi kenyataan semakin kesulitan yang timbul dalam mengembangkan hubungan dengan orang lain.

E.TANDA DAN GEJALA
1.Kurang spontan
2.Apatis (acuh tak acuh terhadap lingkungan)
3.Ekspresi wajah kurang berseri (ekspresi sedih)
4.Afek tumpul
5.Tidak merawat dan memperhatikan kebersihan diri
6.Komunikasi verbal menurun atau tidak ada. Klien tidak bercakap-cakap dengan klien lain/perawat
7.Mengisolasi diri (menyendiri).
8.Tidak atau kurang sadar dengan lingkungan sekitarnya.
9.Pemasukan makan dan minuman terganggu
10.Retensi urin dan feses.
11.Aktivitas menurun.
12.Kurang energi
13.Harga diri rendah.
14.Posisi janin pada saat tidur
15.Menolak berhubungan dengan orang lain.

F.POHON MASALAH
Resiko perubahan persepsi sensori: halusinasi .....

Menarik Diri

Gangguan konsep diri: harga diri rendah

G.MASALAH KEPERAWATAN
1.Resiko perubahan sensori persepsi : Halusinasi
Data obyektif :
Berbicara dan tertawa sendiri, tersenyum, bersikap seperti mendengar/melihat sesuatu, berhenti bicara ditengah kalimat untuk mendengarkan sesuatudisorientasi, menggerakkan bibir tanpa suara, diam dan asyik sendiri.
Data subyektif :
Mendengar suara bunyi yang tidak berhubungan dengan stimulus nyata, melihat gambaran tanpa ada stimulus yang nyata, mencium bau tanpa stimulus, takut pada suara/bunyi/gambaran yang didengar, ingin memukul/melempar barang barang

2.Isolasi sosial: menarik diri
Data obyektif :
Apatis, ekpresi sedih, afek tumpul, menyendiri, berdiam diri dikamar, banyak diam, kontak mata kurang (menunduk), menolak berhubungan dengan orang lain, perawatan diri kurang, posisi menekur.
Data subyektif :
Sukar didapat jika klien menolak komunikasi, kadang hanya dijawab dengan singkat, ya atau tidak.
3.Harga diri rendah
Data obyektif :
Klien tampak lebih suka sendiri, bingung bila disuruh memilih alternatif tindakan, ingin mencederai diri.
Data subyektif :
Klien mengatakan : saya tidak bisa, tidak mampu, bodoh/tidak tahu apa -apa, mengkritik diri sendiri, mengungkapkan perasaan malu terhadap diri.


H.DIAGNOSA KEPERAWATAN
1.Resiko perubahan persepsi sensori: halusinasi …. berhubungan dengan menarik diri.
2.Isolasi sosial: menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah.

I.RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
Diagnosa 1
Tujuan Umum :
Klien dapat berinteraksi dengan orang lain sehingga tidak terjadi halusinasi
Tujuan Khusus :
a. Klien dapat membina hubungan saling percaya
Rasional : Hubungan saling percaya merupakan landasan utama untuk hubungan selanjutnya.
Tindakan:
1). Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip komunikasi terapeutik dengan cara :
a)Sapa klien dengan ramah baik verbal maupun non verbal.
b)Perkenalkan diri dengan sopan.
c)Tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai.
d)Jelaskan tujuan pertemuan.
e)Jujur dan menepati janji.
f)Tunjukkan sikap empati dan menerima klien apa adanya.
g)Berikan perhatian kepada klien dan perhatian kebutuhan dasar klien.

b. Klien dapat menyebutkan penyebab menarik diri
Rasional : Memberi kesempatan untuk mengungkapkan perasaannya dapat membantu mengurangi stres dan penyebab perasaaan menarik diri.



Tindakan :
1).Kaji pengetahuan klien tentang perilaku menarik diri dan tanda-tandanya.
2).Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan penyebab menarik diri atau mau bergaul.
3).Diskusikan bersama klien tentang perilaku menarik diri, tanda-tanda serta penyebab yang muncul.
4).Berikan pujian terhadap kemampuan klien mengungkapkan perasaannya

c. Klien dapat menyebutkan keuntungan berhubungan dengan orang lain dan kerugian tidak berhubungan dengan orang lain.
Rasional : Untuk mengetahui keuntungan dari bergaul dengan orang lain,
untuk mengetahui akibat yang dirasakan setelah menarik diri.
Tindakan :
1) Kaji pengetahuan klien tentang manfaat dan keuntungan berhubungan dengan orang lain.
a)Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan tentang keuntungan berhubungan dengan orang lain.
b)Diskusikan bersama klien tentang manfaat berhubungan dengan orang lain.
c)Beri reinforcement positif terhadap kemampuan mengungkapkan perasaan tentang keuntungan berhubungan dengan orang lain.
2) Kaji pengetahuan klien tentang kerugian bila tidak berhubungan dengan orang lain.
a)Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan dengan orang lain.
b)Biskusikan bersama klien tentang kerugian tidak berhubungan dengan orang lain.
c)Beri reinforcement positif terhadap kemampuan mengungkapkan perasaan tentang kerugian tidak berhubungan dengan orang lain.

d. Klien dapat melaksanakan hubungan sosial.
Rasional :Mengeksplorasi perasaan klien terhadap perilaku menarik diri yang biasa dilakukan. Untuk mengetahui perilaku menarik diri yang dilakukan dan dengan bantuan perawat bisa membedakan perilaku konstruktif dan destruktif.
Tindakan :
1) Kaji kemampuan klien membina hubungan dengan orang lain.
2)Dorong dan bantu kien untuk berhubungan dengan orang lain melalui tahap :
a)K – P
b)K – P – P lain
c)K – P – P lain – K lain
d)K – Kel/Klp/Masyarakat
3) Beri reinforcement positif terhadap keberhasilan yang telah dicapai.
4) Bantu klien untuk mengevaluasi manfaat berhubungan.
5) Diskusikan jadwal harian yang dilakukan bersama klien dalam mengisi waktu.
6) Motivasi klien untuk mengikuti kegiatan ruangan.
7) Beri reinforcement positif atas kegiatan klien dalam kegiatan ruangan.

e. Klien dapat mengungkapkan perasaannya setelah berhubungan dengan orang lain.
Rasional : Dapat membantu klien dalam menemukan cara yang dapat menyelesaikan masalah.
Tindakan :
1)Dorong klien untuk mengungkapkan perasaannya bila berhubungan dengan orang lain.
2)Diskusikan dengan klien tentang perasaan masnfaat berhubungan dengan orang lain.
3)Beri reinforcement positif atas kemampuan klien mengungkapkan perasaan manfaat berhubungan dengan orang lain.

f. Klien dapat memberdayakan sistem pendukung atau keluarga.
Rasional : memberikan penanganan bantuan terapi melalui pengumpulan data yang lengkap dan akurat kondisi fisik dan non fisik klien serta keadaan perilaku dan sikap keluarganya.
Tindakan :
1). Bina hubungan saling percaya dengan keluarga :
a)Salam, perkenalan diri.
b)Jelaskan tujuan.
c)Buat kontrak.
d)Eksplorasi perasaan klien.
2). Diskusikan dengan anggota keluarga tentang :
a)Perilaku menarik diri.
b)Penyebab perilaku menarik diri.
c)Akibat yang terjadi jika perilaku menarik diri tidak ditanggapi.
d)Cara keluarga menghadapi klien menarik diri.
3). Dorong anggota keluarga untuk memberikan dukungan kepada klien untuk berkomunikasi dengan orang lain.
4). Anjurkan anggota keluarga secara rutin dan bergantian menjenguk klien minimal satu kali seminggu.
5). Beri reinforcement positif positif atas hal-hal yang telah dicapai oleh keluarga.

Diagnosa 2
Tujuan umum :
Klien dapat berhubungan dengan orang lain secara optimal tanpa merasa rendah diri

Tujuan khusus :
a. Klien dapat membina hubungan saling percaya
Rasional : Hubungan saling percaya merupakan dasar untuk kelancaran hubungan interaksi selanjutnya
Tindakan :
1). Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip komunikasi terapeutik :
a)sapa klien dengan ramah baik verbal maupun non verbal
b)Perkenalkan diri dengan sopan
c)Tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai klien
d)Jelaskan tujuan pertemuan
e)Jujur dan menepati janji
f)Tunjukan sikap empati dan menerima klien apa adanya
g)Beri perhatian kepada klien dan perhatikan kebutuhan dasar klien.

2). Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki.
Rasional : Diskusikan tingkat kemampuan klien seperti menilai realitas, kontrol diri atau integritas ego ini diperlakukan sebagai dasar asuhan keperawatannya. Reinforcement positif akan meningkatkan harga diri klien. Pujian yang realistik tidak menyebabkan klien melakukan kegiatan hanya karena ingin mendapatkan pujian.
Tindakan:
a)Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki klien.
b)Setiap bertemu klien hindarkan dari memberi penilaian negatif.
c)Utamakan memberikan pujian yang realistik.

3. Klien dapat menilai kemampuan yang digunakan.
Rasional : Keterbukaan dan pengertian tentang kemampuan yang dimiliki adalah prasyarat untuk berubah. Pengertian tentang kemampuan yang dimiliki diri memotivasi untuk tetap mempertahankan penggunaannya.
Tindakan:
a)Diskusikan dengan klien kemampuan yang masih dapat digunakan selama sakit.
b)Diskusikan kemampuan yang dapat dilanjutkan penggunaannya.

4. Klien dapat (menetapkan) merencanakan kegiatan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
Rasional : Membentuk individu yang bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri.Klien perlu bertindak secara realistis dalam kehidupannya. Contoh peran yang dilihat klien akan memotivasi klien untuk melaksanakan kegiatan.
Tindakan:
a)Rencanakan bersama klien aktivitas yang dapat dilakukan setiap hari sesuai kemampuan.
b)Kegiatan mandiri.
c)Kegiatan dengan bantuan sebagian.
d)Kegiatan yang membutuhkan bantuan total.
Tingkatkan kegiatan sesuai dengan toleransi kondisi klien.
Beri contoh cara pelaksanaan kegiatan yang boleh klien lakukan.
5. Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi sakit dan kemampuannya.
Rasional : Memberikan kesempatan kepada klien mandiri dapat meningkatkan motivasi dan harga diri klien. Reinforcement positif dapat meningkatkan harga diri klien. Memberikan kesempatan kepada klien ntk tetap melakukan kegiatan yang bisa dilakukan.

Tindakan:
a) Beri kesempatan pada klien untuk mencoba kegiatan yang telah direncanakan.
b)Beri pujian atas keberhasilan klien.
c)Diskusikan kemungkinan pelaksanaan di rumah.

6. Klien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang ada.
Rasional: Mendorong keluarga untuk mampu merawat klien mandiri di rumah. Support sistem keluarga akan sangat berpengaruh dalam mempercepat proses penyembuhan klien. Meningkatkan peran serta keluarga dalam merawat klien di rumah.
Tindakan:
a)Beri pendidikan kesehatan pada keluarga tentang cara merawat klien dengan harga diri rendah.
b)Bantu keluarga memberikan dukungan selama klien dirawat.
c)Bantu keluarga menyiapkan lingkungan di rumah.

PRE EKLAMPSIA


By : Sutrisno. S.केप, Ns

I. Pengertian
Preeklampsia adalah penyakit yang diderita oleh ibu hamil yang ditandai dengan adanya hipertensi, oedema, dan proteinuri. Tetapi bumil tidak menunjukan tanda-tanda kelainan hipertensi sebelum hamil (Rustam Mucthar, 1998). Dimana gejala preeklampsi biasanya muncul setelah kehamilan berumur 28 minggu atau lebih.
II. Etiologi
Secara pasti penyebab timbulnya gejala tersebut belum diketahui secara pasti, teori yang digunakan oleh ilmuwan belum dapat menjawab beberapa hal berikut :
Frekuensi bertambah banyak pada primigravida, kehamilan ganda, hidramion, dan mola hidatidosa.
Sebab bertambanya frekuensi dengan makin tuanya kehamilan .
Sebab jarang terjadinya preeklampsi pada kehamilan-kehamilan berikutnya.
Sebab timbulnya hipertensi, oedema, dan proteinuri.
Dari semua gejala tersebut, gejala awal yang muncul adalah hipertensi, dimana untuk menegakkan diagnosa tersebut adalah yaitu kenaikan tekanan sistole paling tidak naik hingga 30 mmHg atau lebih dibandingkan dengan tekanan darah sebelumnya. Kenaikan diastolik 15 mmHg atau menjadi 90 mmHg atau lebih. Untuk memastikan diagnose tersebut harus dilakukan pemeriksaan tekanan darah minimal dua kali dengan jarak waktu 6 jam pada saat istirahat.
Oedema adalah penimbunan cairan secara umum dan berlebihan dalam jaringan tubuh dan biasanya dapat diketahui dengan kenaikan BB yang berlebihan serta pembengkakan kaki, jari tangan dan muka. Bila kenaikan BB lebih dari 1 Kg setiap minggunya selama beberapa kali ,maka perlu adanya kewaspadaan akan timbulnya preeklampsi.
Proteinuri berarti konsentrasi protein dalam urin > 0,3 gr/liter urin 24 jam atau pemeriksaan kuantitatif menunjukkan + 1 atau + 2 atau 1 gr/liter atau lebih dalam urine midstream yang diambil minimal 2 kali dengan jarak waktu 6 jam . Proteinuri timbul lebih lambat dari dua gejala sebelumnya, sehingga perlu kewaspadaan jika muncul gejala tersebut.

III. Patofisiologi.
Pada preeklampsi terdapat penurunan plasma dalam sirkulasi dan terjadi peningkatan hematokrit, dimana perubahan pokok pada preeklampsi yaitu mengalami spasme pembuluh darah perlu adanya kompensasi hipertensi ( suatu usaha untuk mengatasi kenaikan tekanan perifir agar oksigenasi jaringan tercukupi). Dengan adanya spasme pembuluh darah menyebabkan perubahan – perubahan ke organ antara lain :
a. Otak .
Mengalami resistensi pembuluh darah ke otak meningkat akan terjadi oedema yang menyebabkan kelainan cerebal bisa menimbulkan pusing dan CVA ,serta kelainan visus pada mata.
b. Ginjal.
Terjadi spasme arteriole glomerulus yang menyebabkan aliran darah ke ginjal berkurang maka terjadi filtrasi glomerolus negatif , dimana filtrasi natirum lewat glomelurus mengalami penurunan sampai dengan 50 % dari normal yang mengakibatkan retensi garam dan air , sehingga terjadi oliguri dan oedema.
c. URI
Dimana aliran darah plasenta menurun yang menyebabkan gangguan plasenta maka akan terjadi IUGR, oksigenisasi berkurang sehingga akan terjadi gangguan pertumbuhan janin, gawat janin , serta kematian janin dalam kandungan.
d. Rahim
Tonus otot rahim peka rangsang terjadi peningkatan yang akan menyebabkan partus prematur.
e. Paru
Dekompensi cordis yang akan menyebabkan oedema paru sehingga oksigenasi terganggu dan cyanosis maka akan terjadi gangguan pola nafas. Juga mengalami aspirasi paru / abses paru yang bisa menyebabkan kematian .
f. Hepar
Penurunan perfusi ke hati dapat mengakibatkan oedema hati , dan perdarahan subskapular sehingga sering menyebabkan nyeri epigastrium, serta ikterus.

IV. Klasifikasi Preeklampsi :
Preeklampsi ringan ditandai :
Tekanan darah sistol 140 atau kenaikan 30 mmHg dengan intrerval 6 jam pemeriksaan.
Tekanan darah diastol 90 atau kenaikan 15 mmHg.
BB naik lebih dari 1 Kg/minggu.
Proteinuri 0,3 gr atau lebih dengan tingkat kualitatif 1 – 2 pada setiap urine kateter atau midstearh.
Preeklampsi berat ditandai :
- Tensi 160/110 mmHg atau lebih.
- Oliguri, urine , 400 cc/24 jam.
- Proteinuri > dari 3 gr/l.
Keluhan subyektif : nyeri epigastrium, nyeri kepala, gangguan penglihatan, gangguan kesadaran, oedema paru dan sianosis.

V. Predisposisi preeklampsi meningkat pada kehamilan :
Penyakit Trophoblastic
Terjadi pada 70 % dari wanita dengan mola hidatidosa terutama pada usia kehamilan 24 minggu.
Multigravida
Walaupun kejadian preeklampsi lebih besar pada primigravida, insidennya meningkat juga pada multipara kejadiannya hampir mendekati 30 %.
Penyakit Hipertensi kronik.
Penyakit Ginjal kronik.
Hidramnion, gemmeli.
Usia ibu lebih dari 35 tahun.
Cenderung Genetik.
Memiliki riwayat Preeklampsi.
DM, insiden 50 %.
Obesitas.

VI. Penanganannya.
a. Preeklampsi Ringan :
Jika kehamilan kurang 37 minggu dilakukan pemeriksaan 2 kali seminggu secara rawat jalan :
Pantau tensi, proteinuri, reflek patela, dan kondisi janin.
Lebih banyak istirahat.
Diet biasa.
Tidak perlu obat-obatan.
Preeklampsi Berat :
Penangananya sama, kecuali persalinan harus berlangsung dalam 12 jam setelah kejang.
Pengkajian
Anamnese :
Nama, umur, agama, pendidikan, pekerjaan, status perkwinan, berapa kali nikah, dan berapa lama.
Riwayat kehamilan sekarang : kehamilan yang ke berapa, sudah pernah melakukan ANC, terjadi peningkatan tensi, oedema, pusing, nyeri epigastrium, mual muntah, dan penglihatan kabur.
Riwayat kesehatan ibu sebelumnya : penyakit jantung, ginjal, HT, paru.
Riwayat kehamilan, persalinan, nifas yang lalu : adakah hipertensi atau preeklampsi.
Riwayat kesehatan keluarga : adakah keluarga yang menderita penyakit jantung, ginjal, HT, dan gemmeli.
Pola pemenuhan nutrisi.
Pola istirahat.
Psiko-sosial- spiritual :emosi yang tidak stabil dapat menyebabkan kecemasan.
Pemeriksaan fisik :
Inspeksi : oedema, yang tidak hilang dalam kurun waktu 24 jam.
Palpasi : untuk mengetahui TFU, letak janin, lokasi oedema dengan menekan bagian tertentu dari tubuh.
Auskultasi : mendengarkan DJJ untuk mengetahui adanya fetal distress, kelainan jantung, dan paru pada ibu.
Perkusi : untuk mengetahui reflek patela sebagai syarat pemberian Mg SO4.
Pemeriksaan penunjang :
Tanda vital yang diukur 2 kali dengan interval 6 jam.
Laboratorium : proteinuri dengan kateter atau midstream (biasanya meningkat hingga 0,3 gr/lt atau + 1 sampai + 2 pada skala kualitatif), kadar hematokrit menurun, berat jenis urine meningkat, serum kreatinin meningkat, uric acid > 7 mg/100 ml.
USG : untuk medeteksi keadaan kehamilan, dan plasenta.
NST : untuk menilai kesejahteraan janin.
Analisa Data
Setelah pengumpulan data langka berikutnyaadalah menganalisa data dengan mengelompokan data subyektif dan obyektif, etiologi, dan kemudian masalah keperawatannya.
Diagnosa keperawatan yang muncul :
Diagnosa PEB
Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit b/d retensi air dan garam.
Gangguan perfusi jaringan ginjal b/d vasokntriksi, spasme, dan oedema glomelurus.
Resiko tinggi injury ibu b/d penurunan fungsi organ (vasospasme dan peningkatan tensi.
Resiko tinggi janin b/d perubahan perfusi pada plesenta.
Diagnosa PER
Cemas b/d Ketidaktahuan tentang penyakit dan penanganannya.
Resiko tinggi terjadinya PEB.

Refferensi
JNPKKR - POGI ,2000. Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta. Yayasan Bina Pustaka.
Manuaba, Ida Bagus Gede ,1998. Ilmu Kebidanan Penyakit kandungan dan KB. Jakarta : EGC.
Myles MF, Text Book For Midwive, Churchillivine Stone, London,1998.
Prawirohardjo, Sarwono, 1997. Ilmu Kebidanan . Jakarta YBP. SP.
Rustam Mocthar, 1992. Sinopsis Obstetri. Jakarta. EGC.
Taber. Ben Zion, MD ,1994. Kapita Sclekta : Kedaruratan Obstetri Dan Ginekologi. Penerbit EGC. Jakarta.
Yasmin Asih, 1995. Dasar-Dasar Keperawatan, Maternitas EGC, Jakarta.

Rabu, 04 Juli 2007

Sectio Caesarea

By : Sutrisno. S Kep,Ns

Etiologi

Kelemahan Umum, partus tidak maju/partus lama, penyakit Jantung,
Placenta Previa dengan perdarahan hebat atau Placenta previa marginalis
Pintu vagina lemah, tumor vagina tumor cervic
Kehamilan Serotinus (lebih dari 42 minggu)
Distocia karena kekurangan his




Pemeriksaan Diagnostik :

1. Test HCG Urine Indikator kehamilan Positif /Negatif
2. Ultra Sonografi Kondisi janin/cavum ut
3. Kadar Hematocrit/Ht Status Hemodinamika Penurunan (<>10.000 U/dl)
6. Kultur Kuman spesifik Ditemukan kuman


DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Devisit Volume Cairan s.d perdarahan
2. Gangguan Aktivitas s.d kelemahan, penurunan sirkulasi
3. Gangguan rasa nyaman: Nyeri s.d luka post operasi
4. Resiko tinggi Infeksi s.d perdarahan, luka post operasi
5. Gangguan Integritas Kulit s.d tindakan pembedahan

INTERVENSI KEPERAWATAN :
1. Devisit Volume Cairan s.d Perdarahan
Tujuan :
Tidak terjadi devisit volume cairan, seimbang antara intake dan output baik jumlah maupun kualitas.
Intervensi :
b. Kaji kondisi status hemodinamika
R : Pengeluaran cairan akibat operasi yang berlebih merupakan faktor utama masalah
c. Ukur pengeluaran harian
R : Jumlah cairan ditentukan dari jumlah kebutuhan harian ditambah dengan jumlah cairan yang hilang selama masa post operasi dan harian
d. Berikan sejumlah cairan pengganti harian
R : Tranfusi mungkin diperlukan pada kondisi perdarahan masif
e. Evaluasi status hemodinamika
R : Penilaian dapat dilakukan secara harian melalui pemeriksaan fisik

2. Gangguan Aktivitas s.d kelemahan, penurunan sirkulasi
Tujuan :
Kllien dapat melakukan aktivitas tanpa adanya komplikasi
Intervensi :
a. Kaji tingkat kemampuan klien untuk beraktivitas
R : Mungkin klien tidak mengalami perubahan berarti, tetapi perdarahan masif perlu diwaspadai untuk menccegah kondisi klien lebih buruk
a. Kaji pengaruh aktivitas terhadap kondisi luka dan kondisi tubuh umum
R : Aktivitas merangsang peningkatan vaskularisasi dan pulsasi organ reproduksi, tetapi dapat mempengaruhi kondisi luka post operasi dan berkurangnya energi
b. Bantu klien untuk memenuhi kebutuhan aktivitas sehari-hari
R : Mengistiratkan klilen secara optimal
b. Bantu klien untuk melakukan tindakan sesuai dengan kemampuan/kondisi klien
R : Mengoptimalkan kondisi klien, pada abortus imminens, istirahat mutlak sangat diperlukan
c. Evaluasi perkembangan kemampuan klien melakukan aktivitas
R : Menilai kondisi umum klien

3. Gangguan rasa nyaman : Nyeri s.d luka post operasi
Tujuan :
Klien dapat beradaptasi dengan nyeri yang dialami
Intervensi :
a. Kaji kondisi nyeri yang dialami klien
R : Pengukuran nilai ambang nyeri dapat dilakukan dengan skala maupun dsekripsi.
b. Terangkan nyeri yang diderita klien dan penyebabnya
R : Meningkatkan koping klien dalam melakukan guidance mengatasi nyeri
c. Ajarkan teknik distraksi
R : Pengurangan persepsi nyeri
d. Kolaborasi pemberian analgetika
R : Mengurangi onset terjadinya nyeri dapat dilakukan dengan pemberian analgetika oral maupun sistemik dalam spectrum luas/spesifik


1. Resiko tinggi Infeksi s.d perdarahan, luka post operasi
Tujuan :
Tidak terjadi infeksi selama perawatan perdarahan dan luka operasi
Intervensi :
a. Kaji kondisi keluaran/dischart yang keluar ; jumlah, warna, dan bau dari luka operasi
R : Perubahan yang terjadi pada dishart dikaji setiap saat dischart keluar. Adanya warna yang lebih gelap disertai bau tidak enak mungkin merupakan tanda infeksi
b. Terangkan pada klien pentingnya perawatan luka selama masa post operasi
R : Infeksi dapat timbul akibat kurangnya kebersihan luka
c. Lakukan pemeriksaan biakan pada dischart
R : Berbagai kuman dapat teridentifikasi melalui dischart
d. Lakukan perawatan luka
R :Inkubasi kuman pada area luka dapat menyebabkan infeksi.
e. Terangkan pada klien cara mengidentifikasi tanda inveksi
R : Berbagai manivestasi klinik dapat menjadi tanda nonspesifik infeksi; demam dan peningkatan rasa nyeri mungkin merupakan gejala infeksi


Referensi :
b. Bagian Obstetri dan Ginekologi FK Unpad(1981) Obstetri Patologi, Elstar Offset, Bandung
c. JNPKKR-POGI (2000), Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta
d. Wong,Dona L& Perry, Shanon W (1998) Maternal Child Nursing Care, Mosby Year Book Co., Philadelphia
e. – (--), Protap Pelayanan Kebidanan RSUD Dr. Sutomo Surabaya, Surabaya