Sabtu, 29 Maret 2008

HIPERBILIRUBIN

By : Sutrisno, S.Kep, Ns

A. Pengertian
Hiperbilirubinemia merupakan suatu keadaan dimana kadar bilirubin serum total yang lebih dari 10 mg% pada minggu pertama yang ditandai dengan ikterus pada kulit, sclera dan organ lain. Keadaan ini mempunyai potensi meningkatkan kern ikterus yaitu keadaan kerusakan pada otak akibat perlengketan kadar bilirubin pada otak.
(Ni Luh Gede, 1995)
Hiperbilirubin merupakan gejala fisiologis (terdapat pada 25 – 50% neonatus cukup bulan dan lebih tinggi pada neonatus kurang bulan) (IKA II, 2002).

Hiperbilirubin adalah meningginya kadar bilirubin pada jaringan ekstravaskuler sehingga kulit, konjungtiva, mukosa dan alat tubuh lainnya berwarna kuning.
(Ngastiyah, 1997)
Hiperbilirubin adalah meningkatnya kadar bilirubin dalam darah yang kadar nilainya lebih dari normal (Suriadi, 2001).
Nilai normal : bilirubin indirek 0,3 – 1,1 mg/dl, bilirubin direk 0,1 – 0,4 mg/dl.

B. Macam – Macam Ikterus
Ikterus Fisiologis
a. Timbul pada hari ke dua dan ketiga.
b. Kadar bilirubin indirek tidak melebihi 10 mg% pada neonatus cukup bulan dan 12,5 mg% untuk neonatus lebih bulan.
c. Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg% perhari.
d. Ikterus menghilang pada 10 hari pertama.
e. Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologik.
Ikterus Patologik
a. Ikterus terjadi dalam 24 jam pertama.
b. Kadar bilirubin melebihi 10 mg% pada neonatus cukup bulan atau melebihi 12,5 mg% pada neonatus kurang bulan.
c. Peningkatan bilirubin lebih dari 5 mg% perhari.
d. Ikterus menetap sesudah 2 minggu pertama.
e. Kadar bilirubin direk melebihi 1 mg%.
f. Mempunyai hubungan dengan proses hemolitik.
(Ni Luh Gede Y, 1995)

C. Penyebab
Penyebab ikterus pada neonatus dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain :
Produksi bilirubin berlebihan dapat terjadi karena kelainan struktur dan enzim sel darah merah, keracunan obat (hemolisis kimia: salisilat, kortikosteroid, klorampinekol), chepalhematoma.
Gangguan dalam proses ambilan dan konjugasi hepar: obstruksi empedu, infeksi, masalah metabolik, Joundice ASI, hypohyroidisme.
Gangguan transportasi dalam metabolisme bilirubin.
Gangguan dalam ekskresi bilirubin.
Komplikasi : asfiksia, hipoermi, hipoglikemi, menurunnya ikatan albumin; lahir prematur, asidosis.
(Ni Luh Gede Y, 1995)( Suriadi, 2001)

Menurut IKA, 2002 penyebab ikterus terbagi atas :
Ikterus pra hepatik
Terjadi akibat produksi bilirubin yang mengikat yang terjadi pada hemolisis sel darah merah.
Ikterus pasca hepatik (obstruktif)
Adanya bendungan dalam saluran empedu (kolistasis) yang mengakibatkan peninggian konjugasi bilirubin yang larut dalam air yang terbagi menjadi :
a. Intrahepatik : bila penyumbatan terjadi antara hati dengan ductus koleductus.
b. Ekstrahepatik : bila penyumbatan terjadi pada ductus koleductus.
Ikterus hepatoseluler (hepatik)
Kerusakan sel hati yang menyebabkan konjugasi blirubin terganggu.

Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama dengan penyebab :
· Inkomtabilitas darah Rh, ABO atau golongan lain
· Infeksi intra uterin (oleh virus, toksoplasma, lues dan kadang bakteri)
· Kadang oleh defisiensi G-6-PO
Ikterus yang timbul 24 – 72 jam setelah lahir dengan penyebab:
· Biasanya ikteruk fisiologis
· Masih ada kemungkinan inkompatibitas darah ABO atau Rh atau golongan lain. Hal ini diduga kalau peningkatan kadar bilirubin cepat, misalnya melebihi 5 mg%/24 jam
· Polisitemia
· Hemolisis perdarahan tertutup (perdarahan sub oiponeurosis, perdarahan hepar sub kapsuler dan lain-lain)
· Dehidrasis asidosis
· Defisiensi enzim eritrosis lainnya

Ikterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai minggu pertama dengan penyebab
· Biasanya karena infeksi (sepsis)
· Dehidrasi asidosis
· Defisiensi enzim G-6-PD
· Pengaruh obat
· Sindrom gilber

Ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya dengan penyebab :
· biasanya karena obstruksi
· hipotiroidime
· hipo breast milk jaundice
· infeksi
· neonatal hepatitis
· galaktosemia
(IKA II, 2002)

D. Tanda dan Gejala
1. Pada permulaan tidak jelas, yang tampak mata berputar-putar
2. Letargik (lemas)
3. Kejang
4. Tidak mau menghisap
5. Dapat tuli, gangguan bicara dan retardasi mental
6. Bila bayi hidup pada umur lebih lanjut dapat disertai spasme otot, epistotonus, kejang, stenosis yang disertai ketegangan otot
(Ngastiyah, 1997)
7. Perut membuncit
8. Pembesaran pada hati
9. Feses berwarna seperti dempul
(Ni Luh Gede Y, 1995)
10. Tampak ikterus; sklera, kuku, kulit dan membran mukosa. Joundice pada 24 jam pertama yang disebabkan oleh penyakit hemolitik waktu lahir, sepsis, atau ibu dengan diabetik/infeksi.
11. Muntah, anoreksia, fatigue, warna urin gelap, warna tinja gelap.
(Suriadi, 2001)

E. Komplikasi
1. Terjadi kernikterus, yaitu kerusakan pada otak akibat perlengketan bilirubin indirek pada otak terutama pada korpus striatum, thalamus, nucleus subtalamus hipokampus, nucleus merah didasar ventrikel IV.
2. Kernikterus; kerusakan neurologis, cerebral palsy, RM, hyperaktif, bicara lambat, tidak ada koordinasi otot, dan tangisan yang melengking.
(Ngastiyah, 1997)(Suriadi,2001)

F. Penatalaksanaan dan Tindakan
a. Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama
Pemeriksaan yang dilakukan :
· Kadar bilirubin serum berkala.
· Darah tepi lengkap.
· Golongan darah ibu dan bayi diperiksa.
· Pemeriksaan penyaring defisiensi enzim G-6-PD biakan darah atau biopsi hepar bila perlu.
b. Ikterus yang timbul 24 – 72 jam setelah lahir:
Pemeriksaan yang perlu diperhatikan : Bila keadaan bayi baik dan peningkatan tidak cepat dapat dilakukan pemeriksaan darah tepi, periksa kadar bilirubin berkala, pemeriksaan penyaring enzim G-6-PD dan pemeriksaan lainnya.
c. Ikterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai minggu pertama
Ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya
Pemeriksaan yang dilakukan :
· pemeriksaan bilirubin direk dan indirek berkala
· pemeriksaan darah tepi
· pemeriksaan penyaring G-6-PD
· biakan darah, biopsy hepar bila ada indikasi

Penatalaksanaan secara umum
Pengawasan antenatal yang baik.
Menghindari obat yang meningkatakan ikterus pada masa kematian dan kelahiran, misal : sulfa furokolin.
Pencegahan dan pengobatan hipoksin pada neonatus dan janin.
Penggunaan fenobarbital pada ibu 1 – 2 hari sebelum partus.
Pemberian makanan sejak dini (pemberian ASI).
Pencegahan infeksi.
Melakukan dekompensasi dengan foto terapi.
Tranfusi tukar darah. (Abdul bari S, 2000)(Ni Luh Gede Y, 1995)

G. Pengkajian Data Dasar
1. Aktivitas : Letargi, malas
2. Sirkulasi : Mungkin pucat, menandakan anemia
3. Eliminasi :
· Pasase mekonium mungkin lambat
· Bising usus hipoaktif
· Feses munkin lunak/coklat kehijauan selama pengeluaran bilirubin
· Urin gelap, pekat:hitam kecoklatan
4. Makanan/Cairan:
· Riwayat makan buruk (ASI), lebih mungkin disusui dari pada menyusu botol
· Palpasi abdoment dapat menunjukkan pembesaran limpa
5. Neurosensori:
· Sefalohematoma besar mungkin terlihat pada satu atau kedua tulang parietal yag berhubungan dengan trauma lahir
· Edema umum, hepatosplenomegali mungkin ada dengan inkompatibilitas Rh berat.
· Kegilangan reflek moro.
· Opitotonus dengan kekakuan lengkukng punggung, fontanel meninjol, menangis lirih, aktifitas kejang (tahap krisis).
6. Pernafasan:
· Riwayat asfiksia.
· Krekels, mukus bercak merah muda (edema pleural, hemoragi pulmonal).
7. Keamanan
· Riwayat sepsis neonatus.
· Dapat mengalami ekimosis berlebihan, petekie, perdarahan intra kranial.
· Dapat tampak ikterik pada wajah dan berlanjut pada bagian distal tubuh. : kulit hitam kecoklatan sebagai efek foto terapi.

H. Pemeriksaan Diagnostik
1. Test Coom pada tali pusat bayi baru lahir : hasil + tes ini, indirek menandakan adanya anti body Rh-positif, anti –A, atau anti_B dalam darah ibu. Direk menandakan adanya sensitisasi (Rh-positif, anti-A, anti-B) SDM dari neonatus
2. Golongan darah bayi dan Ibu : mengidentifikasi inkompatibilitas ABO.
3. Biliribin total : kadar direk bermakna jika melebihi 1,0 – 1,5 mg/dl, yang mungkin dihubungkan dengan sepsi .kadar indirek tidak boleh melebihi peningkatan 5 mg/dl dalam 24 jam atau tidak boleh melebihi 20 mg/dl pada bayi cukup bulan atau 15 mg/dl pada bayi preterm. protein serum total : kadar kurang dari 3,0 g/dl menandakan penurunan kapasitas ikatan terutama bayi preterm.
4. Hitung Darah Lengkap : Hb mungkin rendah (kurang dari 14 g/dl) karena hemolisis. Ht mungkin meningkat (lebih besar 65%) pada polisitemia, penurunan (kurang dari 45%) dengan hemolisis dan anemia berlebihan.
5. Glukosa: glukosa darah lengkap kurang dari 30 mg/dl atau tes glukosa serum kurang dari 40 mg/dl bila BBL hipoglikemi dan mulai menggunakan simpanan lemak dan melepaskan asam lemak.
6. Daya ikat karbon dioksida : penurunan kadar menunjukkan hemolisis.
7. Smear darah Perifer : dapat menunjukkan SDM abnormal, eritoblastosis pada penyakit Rh atau sferositis pada inkompatibilitas ABO.
I. Penatalaksanaan Teraupeutik
1. Fototerapi; dilakukan apabila telah ditegakkan hiperbilirubin patologis yang berfungsi untuk menurunkan bilirubin dalam kulit melalui tinja dan urine dengan oksidasi foto pada bilirubin dari biliverdin. Cahaya menyebabkan reaksi foto kimia dalam kulit yang mengubah bilirubin tak terkonjugasi kedalam fotobilirubin, yang dieksresikan dalam hati kemudian ke empedu. Produk akhir adalah reversibel dan dieksresikan ke dalam empedu tanpa perlu konjugasi.
2. Fenobarbital : dapat mengeksresi bilirubin dalam hati dan memperbesar konjugasi. Meningkatkan sintesis hepatik glukoronil tranferase yang meningkatkan bilirubin konjugasi dan clearance hepatik pada pigmen empedu, sintesis protein dimana dapat meningkatkan albumin untuk mengikat bilirubin.
3. Antibiotik; apabila terkait dengan infeksi.
4. Tranfusi tukar; apabila sudah tidak ditangani dengan fototerapi.
(IKA II, 2002)(Suriadi,2000)

ASFIKSIA


By : Sutrisno, S.Kep, Ns

A. Pengertian
Menurut Hanifa Wiknjosastro (2002) asfiksia neonatorum didefinisikan sebagai keadaan dimana bayi tidak dapat segera bernafas secara spontan dan teratur setelah lahir. Asfiksia Neonatus adalah suatu keadaan dimana saat bayi lahir mengalami gangguan pertukaran gas dan transport O2 dan kesulitan mengeluarkan CO2 (A.H Markum, 2002).

B. Etiologi
Etiologi secara umum dikarenakan adanya gangguan pertukaran gas atau pengangkutan O2 dari ibu ke janin, pada masa kehamilan, persalinan atau segera setelah lahir.
1. Faktor ibu
§ Hipoksi ibu, oksigenasi darah ibu yang tidak mencukupi akibat hipoventilasi selama anestesi, penyakit jantung sianosis, gagal pernafasan, keracunan karbon monoksida, tekanan darah ibu yang rendah.
§ Penyakit pembuluh darah yang menganggu aliran darah uterus, kompresi vena kava dan aorta saat hamil, gangguan kontraksi uterus, hipotensi mendadak akibat perdarahan, hipertensi pada penyakit eklampsia.
§ Usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun
§ Gravida empat atau lebih
§ Sosial ekonomi rendah
2. Faktor plasenta
§ Plasenta tipis
§ Plasenta kecil
§ Plasenta tak menempel
§ Solusio plasenta
§ Perdarahan plasenta

3. Faktor janin / neonatus
§ Kompresi umbilikus
§ Tali pusat menumbung, lilitan tali pusat
§ Kompresi tali pusat antara janin dan jalan lahir
§ Prematur
§ Gemeli
§ Kelainan congenital
§ Pemakaian obat anestesi
§ Trauma yang terjadi akibat persalinan
4. Faktor persalinan
§ Partus lama
§ Partus tindakan

C. Patofisiologi
Bila terdapat gangguan pertukaran gas atau pengangkutan oksigen selama kehamilan / persalinan, akan terjadi asfiksia. Keadaan ini akan mempengaruhi fungsi sel tubuh dan bila tidak teratasi akan menyebabkan kematian. Kerusakan dan gangguan ini dapat reversible atau tidak tergantung dari berat dan lamanya asfiksia. Asfiksia ringan yang terjadi dimulai dengan suatu periode apnoe, disertai penurunan frekuensi jantung. Selanjutnya bayi akan menunjukkan usaha nafas, yang kemudian diikuti pernafasan teratur. Pada asfiksia sedang dan berat usaha nafas tidak tampak sehingga bayi berada dalam periode apnoe yang kedua., dan ditemukan pula bradikardia dan penurunan tekanan darah.
Disamping perubahan klinis juga terjadi gangguan metabolisme dan keseimbangan asam dan basa pada neonatus. Pada tingkat awal menimbulkan asidosis respiratorik, bila gangguan berlanjut terjadi metabolisme anaerob yang berupa glikolisis glikogen tubuh, sehingga glikogen tubuh pada hati dan jantung berkurang. Hilangnya glikogen yang terjadi pada kardiovaskuler menyebabkan gangguan fungsi jantung. Pada paru terjadi pengisian udara alveoli yang tidak adekuat sehingga menyebabkan resistensi pembuluh darah paru. Sedangkan di otak terjadi kerusakan sel otak yang dapat menimbulkan kematian atau gejala sisa pada kehidupan bayi selanjutnya.


D. PATHWAYS
Unknown

E . Manifestasi klinik
1. Pernafasan cuping hidung
2. Pernafasan cepat
3. Tidak bernafas
4. Nadi cepat
5. Cyanosis
6. Nilai APGAR kurang dari 6

Untuk menilai tingkat asfiksia: asfiksia berat, sedang atau ringan bahkan normal dapat dipakai penilaian dengan APGAR score.
Klasifikasi klinik nilai APGAR:

1. Asfiksia berat ( nilai APGAR 0-3)
Memerlukan resusitasi segera secara aktif, dan pemberian oksigen terkendali. Karena selalu disertai asidosis, maka perlu diberikan natrikus bikarbonat 7,5% dengan dosis 2,4 ml per kg berat badan, dan cairan glucose 40%1-2 ml/kg berat badan, diberikan via vena umbilikalis.



2. Asfiksia sedang (nilai APGAR 4-6).
Memerlukan resusitasi dan pemberian oksigen sampai bayi dapat bernafas kembali.

3. Bayi normal atau asfiksia ringan ( nilai APGAR 7-9).

4. Bayi normal dengan nilai APGAR 10
Asfiksia berat dengan henti jantung, dengan keadaan bunyi jantung menghilang setelah lahir, pemeriksaan fisik yang lain sama dengan asfiksia berat.

F. Pemeriksaan Diagnostik
1. Analisa gas darah ( PH kurang dari 7,20 )
2. Penilaian APGAR Score meliputi (Warna kulit, frekuensi jantung, usaha nafas, tonus otot dan reflek)
3. Pemeriksaan EEG dan CT-Scan jika sudah timbul komplikasi
4. Pengkajian spesifik

G. Penatalaksanaan
Tujuan utama mengatasi asfiksia adalah untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan membatasi gejala sisa (sekuele) yang mungkin timbul di kemudian hari.Tindakan yang dikerjakan pada bayi lazim disebut resusitasi bayi baru lahir.
Sebelum resusitasi dikerjakan, perlu diperhatikan bahwa:
1. Faktor waktu sangat penting. Makin lama bayi menderita asfiksia, pertumbuhan homeostasis yang timbul makin berat. Resusitasi akan semakin sulit dan kemungkinan timbulnya sekuele akan meningkat
2. Kerusakan yang timbul pada bayi akibat anoksia/ hipoksia antenatal tidak dapat diperbaiki, tetapi kerusakan yang akan terjadi karena anoksia/hipoksia paska natal harus dicegah dan diatasi.
3. Riwayat kehamilan dan persalinan akan memberikan keterangan yang jelas tentang faktor penyebab terjadinya depresi pernafasan pada bayi baru lahir
4. Penilaian bayi baru lahir perlu dikenal baik, agar resusitasi yang dilakukan dapat dipilih dan ditentukan secara cepat dan tepat.

Prinsip dasar resusitasi yang perlu diingat adalah:
1. Membersihkan lingkungan yang baik pada bayi dan mengusahakan saluran pernafasan tetap bebas serta merangsang timbulnya pernafasan, yaitu agar oksigenasi dan pengeluaran CO2 berjalan lancar.
2. Memberikan bantuan pernafasan secara aktif pada bayi yang menunjukkan usaha pernafasan lemah.
3. Melakukan koreksi terhadap asidosis yang terjadi
4. Menjaga agar sirkulasi darah tetap baik.

Tindakan Umum:
1. Pengawasan suhu tubuh
Pertahankan suhu tubuh agar bayi tidak kedinginan, karena hal ini akan memperburuk keadaan asfiksia.Bayi baru lahir secara relative banyak kehilangan panas yang diikuti oleh penurunan suhu tubuh. Penurunan suhu tubuh akan mempertinggi metabolisme sel sehingga kebutuhabn oksigen meningkat. Perlu diperhatikan agar bayi mendapat lingkungan yang hangat segera setelah lahir. Jangan biarkan bayi kedinginan (membungkus bayi dengan kain kering dan hangat), Badan bayi harus dalam keadaan kering, jangan memandikan bayi dengan air dingin, gunakan minyak atau baby oil untuk membersihkan tubuh bayi. Kepala ditutup dengan kain atau topi kepala yang terbuat dari plastik

2. Pembersihan jalan nafas
Saluran nafas atas dibersihkan dari lendir dan cairan amnion dengan pengisap lendir, tindakan ini dilakukan dengan hati- hati tidak perlu tergesa- gesa atau kasar. Penghisapan yang dilakukan dengan ceroboh akan timbul penyulit seperti: spasme laring, kolap paru, kerusakan sel mukosa jalan nafas. Pada asfiksia berat dilakukan resusitasi kardiopulmonal.

3. Rangsangan untuk menimbulkan pernafasan
Bayi yang tidak memperlihatkan usaha bernafas selama 20 detik setelah lahir dianggap telah menderita depresi pernafasan. Dalam hal ini rangsangan terhadap bayi harus segera dilakukan. Pengaliran O2 yang cepat kedalam mukosa hidung dapat pula merangsang reflek pernafasan yang sensitive dalam mukosa hidung dan faring. Bila cara ini tidak berhasil dapat dilakukan dengan memberikan rangsangan nyeri dengan memukul kedua telapak kaki bayi.

4. Therapi cairan pada bayi baru lahir dengan asfiksi
a.Tujuan Pemberian Cairan untuk Bayi Baru Lahir dengan asfiksia
1. Mengembalikan dan mempertahankan keseimbangan cairan
2. Memberikan obat- obatan
3. Memberikan nutrisi parenteral
b. Keuntungan dan kerugian therapy Cairan
Keuntungan :
1. Efek therapy segera tercapai karena penghantaran obat ketempat target berlangsung cepat
2. Absorbsi total, memungkinkan dosis obat lebih tepat dan therapy lebih dapat diandalkan.
3. Kecepatan pemberian dapat dikontrol sehingga efek therapy dapat dipertahankan maupun dimodifikasi.
4. Ras sakit dan iritasi obat- obat tertentu jika diberikan intramuscular dan subkutan dapat dihindari.
5. Sesuai untuk obat yang tidak dapat diabsorpsi dengan rute lain karena molekul yang besar, iritasi atau ketidakstabilan dalam traktus gastrointestinal.
Kerugian :
1. Resiko toksisitas/anapilaktik dan sensitivitas tinggi
2. Komplikasi tambahan dapat timbul :
§ Kontaminasi mikroba melalui sirkulasi
§ Iritasi vaskuler ( spt phlebitis )
§ Inkompabilitas obat dan interaksi dari berbagai obat tambahan.

c.Peran Perawat terhadap Therapi Cairan pada bayi baru lahir dengan asfiksia
1. Memastikan tidak ada kesalahan maupun kontaminasi cairan infuse maupun kemasannya.
2. Memastikan cairan infuse diberikan secara benar (pasien, jenis cairan, dosis, cara pemberian dan waktu pemberian)
3. Memeriksa kepatenan tempat insersi
4. Monitor daerah insersi terhadap kelainan
5. Mengatur kecepatan tetesan sesuai dengan program
6. Monitor kondisi dan reaksi pasien



DAFTAR PUSTAKA


1. A.H Markum, (2002). Ilmu Kesehatan Anak, Jakarta: FKUI.

2. Arif Ridwan & Iman Fathurrohman W. (1997). Referensi Ilmu Kesehatan Anak. Edisi ke-2. Bandung.

3. Berhman, Kliegman & Arvin, (1996), Ilmu Kesehatan Anak Nelson, Alih Bahasa Samik Wahab. Jilid I, Jakarta: EGC.

4. http: // www.pediatrik.com/kanal.Php?pg=karyailmiah&id=03.

5. http : //www.Suaramerdeka.Com/harian/0308/11/ragam5.htm.

6. Mochtar, Rustam, (1998), Sinopsis Obstetri: Obstetri Patologi, Edisi 2, Jakarta: EGC.

7. Persis Mary Halminton, (1999), Dasar- dasar Keperawatan Maternitas Edisi 2, Jakarta: EGC

8. Staf Pengajar IKA FKUI, (1995), Ilmu Kesehatan Anak Jilid 3, Jakarta: IKA FKUI.

9. Purnawan, J dkk, (1998) Kapita Selekta Kedokteran, Edisi2, Jakarta: Media Aeusculapius FKUI.

10. PT Otsuka Indonesia. (2003). Pemberian Cairan Infus. Edisi revisi VIII.

11. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo, (2002), Ilmu Kebidanan, Jakarta: JNPKKR-POGI

12. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo, (2002), Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, Jakarta: JNPKKR- POGI

13. Arif Ridwan & Iman Fathurrohman W. (1998). Referensi Ilmu Kesehatan Anak. Edisi ke-2. Bandung.

Durasi <24 pg="karyailmiah&id=">